1,5 Triliun Uang Nasabah Menguap Akibat Bangkrut Perusahaan

Synapse adalah perusahaan fintech yang mengajukan kebangkrutan pada April 2024. Keputusan ini telah menyebabkan kerugian besar bagi nasabah mereka, dengan jumlah total kerugian diperkirakan mencapai Rp 1,5 triliun. Perselisihan antara Synapse dan Evolve Bank terkait saldo nasabah telah menjadi pemicu dari kejatuhan perusahaan ini.

Peran Synapse sebagai perantara antara perusahaan fintech seperti Yotta dan Juno dengan layanan pemberi pinjaman kecil seperti Evolve telah membuat mereka terlibat dalam situasi yang sulit. Ketika Synapse memutuskan untuk mematikan akses ke sistem utama mereka untuk memproses transaksi, banyak klien yang melakukan perpindahan secara besar-besaran. Hal ini akhirnya menyebabkan kebangkrutan perusahaan.

Dalam proses kebangkrutan ini, ditemukan bahwa masih ada dana nasabah yang hilang hingga mencapai US$96 juta atau sekitar Rp 1,5 triliun. Masalah ini kemudian dibawa ke meja pengadilan, namun keberadaan uang yang hilang masih belum diketahui. Nasabah seperti Kayla Morris dan Zach Jacobs merupakan dua di antara banyak nasabah yang harus menanggung kerugian akibat kejatuhan Synapse.

Kayla Morris harus kehilangan uang senilai US$282.153,87 atau sekitar Rp 4,4 miliar. Sedangkan Zach Jacobs memiliki tabungan sebesar US$94.468,92 atau sekitar Rp 1,5 miliar, namun hanya akan mendapatkan kembali sejumlah kecil dari total tabungannya. Untuk mengatasi masalah ini, mereka bahkan membentuk perkumpulan dengan korban lainnya agar bisa mendapat perhatian dari pihak berwenang.

Synapse sendiri didirikan pada tahun 2014 dan didukung oleh firma modal ventura ternama, Andreessen Horowitz. Tujuan utama perusahaan ini adalah menjadi perantara bagi perusahaan fintech agar bisa memberikan layanan perbankan tanpa harus memiliki izin perbankan. Namun, sebagai konsekuensi dari tidak memiliki izin perbankan, perusahaan fintech harus bekerja sama dengan bank-bank yang diasuransikan oleh FDIC untuk mengelola dana nasabah mereka.

Sebelum kebangkrutan, Synapse memiliki kontrak dengan 100 perusahaan fintech yang memiliki sekitar 100 juta konsumen. Namun, setelah deklarasi kebangkrutan, banyak mitra bank kehilangan akses ke sistem yang penting untuk mengidentifikasi rekam jejak perusahaan. Hal ini menyebabkan konsumen seperti pengguna Yotta tidak bisa mengakses uang mereka. Dalam laporan yang diajukan oleh gugatan Troutman Pepper, ditemukan bahwa sejumlah besar dana nasabah masih belum ditemukan.

Keseluruhan kejadian ini telah menunjukkan betapa pentingnya transparansi dan keamanan dalam industri fintech. Nasabah harus selalu waspada dan memilih perusahaan fintech yang terpercaya dan telah memenuhi regulasi yang berlaku. Semoga kejadian ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak terkait dalam industri fintech agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *