Menteri ESDM Bahlil Lahadalia Bicara Soal Relaksasi Izin Ekspor Konsentrat Tembaga
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia baru-baru ini memberikan pernyataan terkait perusahaan tambang yang mengajukan relaksasi izin ekspor konsentrat tembaga. Menurutnya, saat ini hanya PT Freeport Indonesia (PTFI) yang telah mengajukan izin tersebut, sementara PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN) belum mengajukan permohonan serupa.
Bahlil menyampaikan informasi ini saat diwawancara di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta. Dia mengungkapkan bahwa hingga saat ini, hanya Freeport yang telah mengajukan permohonan relaksasi izin ekspor konsentrat tembaga.
Permintaan Fleksibilitas Ekspor dari AMMN
Sebelumnya, PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN) telah meminta fleksibilitas dalam ekspor konsentrat tembaga hingga Desember 2025. Permintaan ini diajukan karena proses commissioning smelter yang sedang berjalan lebih lambat dari rencana awal. Hal ini menyebabkan adanya sisa konsentrat yang masih belum dapat diolah.
Kapasitas Operasional Smelter AMMN
Presiden Direktur Amman Mineral, Rachmat Makkasau, menjelaskan bahwa saat ini kapasitas operasional smelter yang dibangun oleh anak perusahaannya, PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT), baru mencapai 48%. Smelter yang berlokasi di Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki kapasitas pengolahan 900.000 ton konsentrat tembaga per tahun, dengan target produksi 220.000 ton katoda tembaga.
Selain konsentrat tembaga, smelter ini juga mampu menghasilkan produk sampingan seperti asam sulfat, emas batangan, perak, dan selenium. Proses commissioning smelter dimulai sejak Juni 2024, namun berjalan lambat karena perusahaan melakukan berbagai upaya untuk memastikan kelancaran operasionalnya.
Kompleksitas Teknologi Smelter
Rachmat menjelaskan bahwa kehati-hatian perusahaan dalam mengoperasikan smelter ini disebabkan oleh kompleksitas teknologi yang digunakan. Perusahaan masih harus belajar menggunakan teknologi baru ini, seperti teknologi double-bash dari Yanggu, China, yang dikombinasikan dengan teknologi dari Merin, Metsun, dan Ototec.
Menurut Rachmat, operasi smelter saat ini baru mencapai 48% karena kompleksitas teknologi yang digunakan. Perusahaan masih terus melakukan upaya untuk meningkatkan efisiensi operasional smelter agar mencapai target produksi yang diinginkan.
Kesimpulan
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa masalah ekspor konsentrat tembaga dan operasional smelter masih menjadi perhatian utama bagi perusahaan tambang di Indonesia. Dukungan dan pengawasan dari pemerintah, termasuk Kementerian ESDM, sangat diperlukan untuk memastikan keberlanjutan dan kesuksesan industri pertambangan di Tanah Air.
Dengan adanya upaya terus menerus dalam meningkatkan efisiensi operasional dan mengatasi kendala teknis, diharapkan industri pertambangan tembaga di Indonesia dapat terus berkembang dan memberikan kontribusi positif bagi perekonomian negara.